JAKARTA – Polri terus memperbarui model dan langkah-langkah pelayanan terhadap pengunjuk rasa melalui pendekatan berbasis hak asasi manusia (HAM) dan komparatif internasional.

Pembaruan ini dilakukan dengan merujuk pada best practice negara maju, khususnya Inggris, yang telah memiliki Code of Conduct pengendalian massa yang dinilai efektif, transparan, dan akuntabel.
Baca Juga
Wakapolri Komjen Pol Prof. Dr. Dedi Prasetyo menegaskan bahwa penyusunan model pelayanan unjuk rasa harus sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 dan sekaligus memenuhi standar internasional dalam perlindungan hak berekspresi.
“Model pelayanan terhadap pengunjuk rasa harus kita rumuskan ulang, tidak hanya berdasarkan kondisi dalam negeri, tetapi juga mengacu pada standar HAM internasional.
Kita belajar dari negara-negara yang sudah lebih maju dalam pengelolaan kebebasan berpendapat di ruang publik,” ujar Wakapolri.
Polri akan melakukan studi komparatif ke Inggris pada Januari mendatang untuk mempelajari Code of Conduct yang membagi pengendalian massa ke dalam lima tahap.
Perubahan internal turut dilakukan, dengan sistem pengendalian massa yang dahulu memiliki 38 tahapan kini disederhanakan menjadi lima fase utama.
Wakapolri menekankan pentingnya kewajiban evaluasi berkelanjutan sebagai bagian dari standar HAM internasional.
“Setiap tindakan dalam lima tahap harus dievaluasi, mulai dari progres hingga dampaknya. Ini sejalan dengan prinsip accountability dalam standar HAM global,” tegasnya. ( Red )

















