Ketum Forum PWI: Pemprov Jabar Abai, Bocah Gizi Buruk di Bekasi Meninggal BPJS Kesehatan Lepas Tangan

by

medianewstrn

medianewstrn.com

BEKASI – Putri Ayudia Inara, 8 tahun, warga Tambun Utara, Kabupaten Bekasi, meninggal dunia Sabtu 09/08/2025 setelah menjalani perawatan kurang dari 24 jam di Rumah Sakit Ananda, Babelan. Sejak kecil, ia berjuang melawan gizi buruk, tuberkulosis paru, serta komplikasi penyakit lain yang melemahkan tubuhnya.

Namun keluarga kecil itu tidak hanya kehilangan buah hati, mereka juga harus menanggung tagihan rumah sakit sebesar Rp30 juta.

Rijal, ayah Putri, seorang karyawan swasta dengan gaji UMR Jakarta dan enam tanggungan keluarga, hanya mampu membayar Rp10 juta hasil pinjaman dari rekan kerja. Jenazah anaknya sempat tertahan pihak rumah sakit karena kekurangan biaya.

Harapan keluarga untuk mendapat keringanan pupus setelah Rukmana, S.Pd.I., Pemimpin Redaksi mediawartanasional.com sekaligus Ketua Umum Forum Penulis dan Wartawan Indonesia, melakukan konfirmasi langsung kepada Rudi, Kepala Cabang BPJS Kesehatan Kabupaten Bekasi.

Jawaban yang diterima justru menohok: BPJS menolak mengcover biaya rumah sakit karena kepesertaan Putri sudah tidak aktif akibat tunggakan iuran.

Penjelasan itu diperkuat oleh Ade, petugas BPJS bagian rumah sakit. Menurutnya, aturan BPJS tegas: jika pasien tidak dapat menunjukkan kartu BPJS aktif hingga keluar dari rumah sakit, maka biaya tidak bisa ditanggung.

“Kami hanya berpedoman pada aturan yang ada,” kata Ade melalui telpon whatsaap 15/09/2025.

Sikap itu memunculkan kritik tajam. Seharusnya, menurut regulasi, peserta BPJS Mandiri yang tidak mampu melanjutkan iuran dapat dialihkan ke program BPJS PBI (Penerima Bantuan Iuran), yang dibiayai negara. Namun dalam kasus Putri, mekanisme itu tidak berjalan.

“BPJS seolah abai pada fungsi sosialnya. Kalau rakyat miskin yang sakit lalu ditolak karena persoalan administrasi, lalu di mana letak kehadiran negara?” ujar Rukmana Jum’at 12/09/2025.

Kasus ini memperlihatkan rapuhnya sistem jaminan kesehatan di Indonesia. Aturan kaku BPJS justru menjerat rakyat kecil dalam utang medis, bahkan ketika nyawa sudah tak tertolong. Negara hadir hanya dalam bentuk aturan, bukan perlindungan.

Kini, keluarga Rijal Firdaus masih dikejar sisa tagihan Rp20 juta, sementara pihak rumah sakit mengancam akan melibatkan penagih pihak ketiga.

Bagi keluarga miskin, beban itu bukan hanya angka, melainkan luka kedua setelah kehilangan anak

Editorial

BPJS yang Kaku, Rakyat Miskin Jadi Korban

Kisah Putri Ayudia Inara, bocah delapan tahun asal Bekasi yang meninggal setelah sehari dirawat di Rumah Sakit Ananda, adalah potret telanjang rapuhnya jaminan kesehatan negeri ini.

Putri, anak dari keluarga tidak mampu dengan riwayat gizi buruk dan penyakit kronis, seharusnya menjadi prioritas perlindungan negara. Nyatanya, Ia justru terjebak dalam jerat administrasi dan aturan kaku BPJS Kesehatan.

Keluarga miskin ini harus menanggung tagihan Rp30 juta. Jenazah Putri bahkan sempat ditahan rumah sakit hanya karena ayahnya, seorang buruh bergaji UMR Jakarta dengan enam tanggungan, tak mampu melunasi biaya.

Dari jumlah itu, Rp10 juta dibayar dengan meminjam ke rekan kerja. Sisanya, Rp20 juta, masih menghantui dengan ancaman penagihan pihak ketiga.

Lebih menyakitkan lagi, konfirmasi yang dilakukan oleh Rukmana, Pemimpin Redaksi mediawartanasional.com sekaligus Ketua Umum Forum Penulis dan Wartawan Indonesia, kepada Rudi Kepala Cabang BPJS Kesehatan Kabupaten Bekasi pada pertengahan Agustus lalu yang justru berujung penolakan.

Alasannya: kepesertaan BPJS Putri nonaktif akibat tunggakan. Ade, petugas BPJS di rumah sakit, menegaskan aturan: pasien yang tidak menunjukkan kartu BPJS aktif saat keluar dari rumah sakit tidak bisa ditanggung.

Inilah ironi besar. BPJS Kesehatan berdiri atas nama gotong royong, namun dalam praktiknya, mereka menutup mata terhadap realitas kemiskinan. Seharusnya, peserta BPJS Mandiri yang tak mampu membayar iuran bisa dialihkan ke program PBI (Penerima Bantuan Iuran), yang sepenuhnya ditanggung negara. Namun mekanisme itu mandek. Yang tersisa hanyalah teks aturan yang dingin dan kaku.

Pertanyaannya: untuk siapa BPJS Kesehatan didirikan? Bila rakyat miskin yang sekarat tetap ditolak, lalu di mana letak keadilan sosial? Negara seakan hadir hanya untuk mencatat tunggakan, bukan menyelamatkan nyawa.

Kasus Putri bukan sekadar tragedi keluarga, tapi alarm keras bagi pemerintah daerah dan pusat. Jika birokrasi kesehatan masih berjalan dengan logika hitung-hitungan iuran, maka rakyat miskin akan terus jadi korban. Dalam setiap nyawa yang hilang, negara menanggung dosa.

“Lalu dimana uang pajak tinggi yang dipungut pemerintah pusat dan daerah, pengajuan Jamkesda Puteri ditolak oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Bekasi.

Padahal pemerintah setempat melalui Kepala Desa Satria Mekar, Camat Tambun Utara dan Puskesmas sudah merekomendasikan bahwa pasien layak menerima bantuan karena masuk dalam kategori tidak mampu yang dinyatakan dalam sebuah surat resmi dari Desa, Kecamatan dan Puskesmas Jum’at 12/09/2025, tandas Rukmana.( Red )

Berita Relevan